Apa itu Daluwarsa?



Halo sobat sekalian...kali ini kita akan bahas Daluwarsa. Daluwarsa Penuntutan dalam Hukum Pidana ditinjau dari Pasal 78 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Daluwarsa adalah lampau waktu untuk menuntut suatu tindak pidana. Begitu suatu tenggang waktu menurut undang – undang berlaku (pasal 78 KUHP dan aturan lain diluar KUHP), maka daluwarsa menggugurkan wewenang untuk memproses hukum terhadap pelaku, baik tenggang waktu itu berlaku sebelum perkara dimulai ataupun selama berlangsungnya tenggang waktu daluwarsa berada dalam stadium, bahwa alat penegak hukum tidak dapat lagi melakukan proses hukum. (vide pasal 78 KUHP) Satu tahun, bagi semua pelanggaran dan kejahatan yang dilakukan dengan percetakan. Enam tahun, bagi kejahatan yang diancam dengan pidana denda, pidana kurungan, atau pidana penjara paling lama tiga tahun. Dua belas tahun, bagi kejahatan yang diancam dengan pidana penjara lebih dari tiga tahun. Delapan belas tahun, bagi kejahatan yang diancam pidana mati atau pidana penjara seumur hidup. Bagi orang yang pada saat melakukan perbuatan, usianya belum delapan belas tahun, masing – masing tenggang waktu untuk daluwarsa diatas, dikurangi menjadi sepertiga.

Dalam perspektif Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) bahwa pada dasarnya semua pelaku (dalam arti luas) dari suatu tindak pidana harus dituntut di muka sidang pengadilan pidana, akan tetapi baik secara umum atau secara khusus undang-undang menentukan peniadaan dan atau penghapusan penuntutan dalam hal-hal tertentu, misalnya karena daluwarsa. Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 78 KUHP bahwa hak menuntut pidana hapus karena daluwarsa.

Hak menuntut pidana menjadi hapus karena lewatnya waktu berdasarkan pasal 78 ayat (1). Dasar dari ketentuan ini sama dengan dasar dari ketentuan pasal 76 ayat (1) tentang asas ne bis in idem ialah untuk kepastian hukum bagi setiap kasus pidana agar si pembuatnya tidak selama-lamanya ketenteraman hidupnya diganggu tanpa batas waktu oleh ancaman penuntutan oleh negara, pada suatu waktu gangguan seperti itu harus diakhiri, orang yang berdosa karena melakukan tindak pidana untuk menghindari penuntutan oleh negara mengharuskan dia untuk selalu bersikap waspada kepada setiap orang, bersembunyi, menghindari pergaulan umum yang terbuka, semua itu membuat ketidaktenangan hidupnya.

Maka apabila kita perhatikan dari rumusan yang terdapat dalam Pasal 78 KUHP, maka jangka waktu daluwarsa adalah tergantung pada tingkat keseriusan tindak pidana yang dilakukan. Adapun menurut Jan Remmelink, berdasarkan Pasal 86 KUHP, terhadap percobaan (poging) untuk melakukan tindak pidana, dan penyertaan (medeplichtigheid), berlaku ketentuan jangka waktu daluwarsa yang sama seperti yang ditetapkan untuk daluwarsa tindak pidana pokok.

Baca Juga : Cara Membuat Surat Kuasa Khusus

Berlakunya tenggang daluwarsa hapusnya kewenangan penuntutan pidana itu, ditetapkan secara umum (pasal 79 KUHP), yaitu pada hari sesudah dilakukannya perbuatan, kecuali dalam tiga hal, yaitu: 

a. mengenai pemalsuan atau perusakan mata uang, adalah pada hari sesudah barang yang dipalsu atau mata uang yang dirusak itu digunakan; 

b. mengenai kejahatan dalam pasal-pasal: 328, 329, 330 dan 333 KUHP, dimulainya adalah pada hari sesudah orang yang langsung terkena kejahatan (korban) dibebaskan atau meninggal dunia; 

c. mengenai pelanggaran dalam pasal 556 KUHP sampai dengan pasal 558a KUHP, adalah dimulai pada hari sesudah daftardaftar yang memuat pelanggaranpelanggaran itu telah disampaikan/diserahkan pada Panitera Pengadilan yang bersangkutan.

Berjalannya waktu penghitungan lamanya tenggang daluwarsa, dapat dihentikan oleh adanya tindakan penuntutan, asalkan penuntutan ini diketahui oleh orang yang dituntut atau telah diberitahukan kepadanya menurut cara yang ditentukan undang-undang. Namun, Disamping proses berjalannya tenggang daluwarsa dapat dihentikan (dengan tindakan penuntutan), berjalannya tenggang daluwarsa dapat pula tertunda berhubung dengan adanya penundaan (schorsing) penuntutan, yakni apabila terjadi perselisihan yang harus diputuskan lebih dahulu atau pra-yudisial (pasal 81 KUHP). Tertundanya proses berjalannya tenggang daluwarsa karena adanya penundaan penuntutan berhubung adanya perselisihan pra-yudisial (perselisihan yang harus diputuskan lebih dahulu) berbeda dengan penghentian berjalannya tenggang daluwarsa karena penuntutan pidana.

Tetapi pada tertundanya jalan tenggang daluwarsa karena schorsing penuntutan pidana karena adanya perselisihan pra-yudisial, jalan proses tenggang daluwarsa tersebut dihentikan sementara yang setelah perselisihan prayudisial itu diselesaikan, maka penghitungan tenggang daluwarsa dilanjutkan lagi, yang artinya lamanya tenggang daluwarsa sebelum terhenti juga turut dihitung.

Penundaan penuntutan pidana karena adanya perselisihan pra-yudisial, maksudnya adalah tindakan penghentian sementara pemeriksaan suatu perkara pidana oleh Majelis Hakim yang memeriksa berhubung diperlukan adanya putusan Majelis perkara yang lain yang sangat penting dan menentukan dalam hal memutus perkara yang dischorsing tersebut. Jonkers memberi contoh seorang dituntut (diajukan ke sidang pengadilan) dengan didakwa melakukan pencurian suatu barang milik orang lain. Tetapi di persidangan dia memberikan keterangan bahwa barang itu adalah miliknya sendiri. 

Jadi intinya Daluwarsa adalah lampau waktu untuk menuntut suatu tindak pidana. Begitu suatu tenggang waktu menurut undang – undang berlaku (pasal 78 KUHP dan aturan lain diluar KUHP), maka daluwarsa menggugurkan wewenang untuk memproses hukum terhadap pelaku, baik tenggang waktu itu berlaku sebelum perkara dimulai ataupun selama berlangsungnya tenggang waktu daluwarsa berada dalam stadium, bahwa alat penegak hukum tidak dapat lagi melakukan proses hukum.

Baca juga : Kedudukan Paralegal Dalam Memberi Bantuan Hukum



Sumber:

E.Y. Kanter dan Sianturi. 1982. Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya Jakarta: Alumni. hlm. 426

Moeljatno. 2003.Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Jakarta: Bumi Aksara. hlm. 33

Adami Chazawi. 2002. Pelajaran Hukum Pidana Bagian 2. Jakarta: PT raja Grafindo Persada. hlm. 173, 179, 180

Jan Remmelink.2003.Hukum Pidana. Jakarta: Gramedia. hlm. 436 

Andi Hamzah. 2000. KUHP dan KUHAP. Jakarta: PT Rineka Cipta. hlm 35

Jonkers, Hukum Pidana Hindia Belanda, Terj. Tim Penerjemah Bina Aksara, Jakarta: PT Bina Aksara, 1987, hlm. 243


0 Comments

Post a Comment

Post a Comment (0)

Previous Post Next Post