Selain dari salinan-salinan tersebut, hanya berlaku sebagai permulaan pembuktian dan kekuatan pembuktiannya diserahkan kepada hakim (Pasal 302 Rbg dan Pasal 1889 3e dan 4e KUHPerdata). Akan tetapi terhadap suatu tembusan surat yang dibuat dengan kertas karbon berlaku sebagai aslinya, karena tembusan itu sama dengan surat yang ditulis pada halaman pertama yang mana pensil atau pena itu langsung berhubungan.
Terhadap salinan-salinan yang berlaku sebagai permulaan pembuktian, dapat diterima sebagai alat bukti jika dapat dicocokkan dengan aslinya. Menurut Yahya Harahap, apabila aslinya tidak ada, dapat dibantu dengan alat bukti lain. Alat bukti yang dapat digunakan terbatas pada alat bukti surat dan saksi. Alat bukti sumpah tidak dibenarkan karena dalam hal yang demikian alat bukti ini dianggap dapat mengganggu ketertiban umum. Bagi seorang yang curang dan beritikad buruk, apalagi bermoral rendah, dapat memanfaatkan sumpah tersebut untuk mengesahkan salinan palsu.
Penilaian pembuktian adalah suatu penilaian yang dilakukan oleh hakim terhadap bukti-bukti yang diajukan oleh pihak sesuai dengan kenyataannya. Hakim karena undang-undang terikat kepada alat bukti tertentu sehingga ia tidak bebas menilainya, tetapi hakim juga diberi kebebasan untuk menilai pembuktian terhadap alat bukti tertentu. Terhadap akta misalnya, hakim terikat penilaiannya (Pasal 165 HIR, Pasal 285 RBG, atau Pasal 1870 KUHPerdata). Sebaliknya hakim tidak wajib mempercayai seorang saksi, yang berarti ai bebas menilai kesaksian (Pasal 172, Pasal 309 Rbg, atau Pasal 1908). Namun pada umumnya sepanjang undang-undang tidak mengatur sebaliknya, hakim bebas untuk menilai pembuktian. Apabila alat bukti oleh hakim dinilai cukup memberikan kepastian tentang peristiwa yang disengketakan untuk mengabulkan akibat hukum yang dituntut oleh penggugat, kecuali ada bukti lawan, bukti itu dinilai lengkap atau sempurna.
Pembuktian bertujuan untuk menetapkan hukum diantara para pihak yang menyangkut suatu hak sehingga diperoleh kebenaran yang memiliki nilai kepastian, keadilan dan kepastian hukum. Kebenaran yang dicari dalam perkara perdata adalah kebenaran formil, artinya hakim tidak boleh melampaui batas yang diajukan para pihak yang berperkara.
Dalam praktek pemeriksaan di Pengadilan Negeri, sering kali alat bukti tulisan yang diajukan bukan tulisan aslinya, tetapi hanya fotokopi yang telah dilegalisasi oleh panitera pengadilan dan hanya menunjukkan aslinya di muka persidangan. Praktek yang demikian dalam dunia peradilan, sesuai dengan perkembangan zaman dan kemajuan teknologi yang mengenal mesin fotokopi, agaknya tidak ada keberatan asalkan saja fotokopi yang diajukan sebagai bukti tersebut benar-benar sesuai dengan aslinya. Akan tetapi, ada kalanya surat asli tidak ada atau hilang dan para pihak hanya memiliki fotokopi surat yang ia butuhkan guna membuktikan dalilnya, sehingga para pihak hanya dapat mengajukan fotokopi surat tersebut ke dalam persidangan. Sehingga muncul pertanyaan apakah fotokopi surat dapat diterima dalam perkara perdata dan bagaimana kekuatan pembuktiannya.
Menurut Yahya Harahap bahwa salinan dengan fotokopi hampir tidak ada bedanya. Perbedaan pokok hanya terletak pada instrumen yang dipergunakan. Salinan menggunakan peralatan konvensional secara manual sedangkan fotokopi menggunakan sistem dan peralatan elektronik yang canggih. Ditinjau dari segi pendekatan persamaan atau persesuaian, hasil fotokopi jauh lebih tinggi kualitas identiknya dan orisinalitasnya dibandingkan dengan salinan melalui sistem dan cara konvensional yang manual maupun dengan salinan tulis tangan. Akan tetapi kekuatan pembuktian salinan jauh lebih tinggi dibandingkan dengan fotokopi karena mengenai salinan diatur dalam undang-undang sedangkan fotokopi tidak. Mengenai salinan terdapat dalam Pasal 1889 KUHPerdata atau 302 Rbg, yang mempersamakan salinan dengan aslinya, sehingga nilai kekuatan pembuktian yang melekat pada salinan pertama (grosse pertama) sama dengan nilai kekuatan pembuktian yang melekat pada aslinya. Sedangkan ketentuan yang membicarakan sejauh mana kesamaan maupun keidentikan fotokopi dengan surat aslinya belum ada.
Mahkamah Agung berpendapat bahwa apabila fotokopi surat yang tidak dapat disesuaikan dengan aslinya atau fotokopi surat yang tidak dikuatkan dengan alat bukti lain, maka fotokopi surat tersebut tidak dapat diterima dalam persidangan. Hal tersebut terdapat dalam Putusan Mahkamah Agung No. 112 K/Pdt/1996 tanggal 17 September 1998. Dalam perkara tersebut fotokopi suatu surat diserahkan oleh salah satu pihak kepersidangan Pengadilan Perdata untuk digunakan sebagai alat bukti surat tersebut:
a. Tanpa disertai surat aslinya untuk disesuaikan dengan surat aslinya “atau” Tanpa dikuatkan oleh keterangan saksi dan alat bukti lainnya.
Majelis Hakim berpendapat, dalam keadaan yang demikian ini, maka fotokopi surat tersebut menurut Hukum Pembuktian Acara Perdata tidak dapat digunakan sebagai alat bukti yang sah dalam persidangan Pengadilan.
Dengan demikian, berdasarkan Putusan tersebut dapat disimpulkan bahwa fotokopi surat yang diajukan di persidangan guna membuktikan dalil-dalil yang dikemukakan, yang tidak dapat dicocokkan dengan aslinya atau fotokopi surat tersebut tidak didukung dengan alat bukti lain, maka fotokopi surat tersebut tidak dapat diterima di dalam perkara perdata. Sebaliknya, jika fotokopi surat tersebut dapat diterima. Sejalan dengan Putusan Mahkamah Agung No. 112 K/Pdt/1996 yang memungkinkan diterimanya fotokopi surat dalam perkara perdata apabila dikuatkan dengan keterangan saksi dan alat bukti lainnya, dalam Putusan Mahkamah Agung No. 410 K/Pdt/2004 tanggal 25 April 2005 fotokopi surat tersebut telah diakui dan dibenarkan oleh pihak lawan.
Oleh karena berdasarkan Putusan Mahkamah Agung No. 112 K/Pdt/1996 dan No. 410 K/Pdt/2004 serta di dalam Buku Yurisprudensi Mahkamah Agung RI Tahun 2010, apabila pihak yang berperkara mengajukan suatu fotokopi surat yang kemudian fotokopi surat tersebut dikuatkan dengan alat bukti lainnya yang relevan, baik berupa pengakuan pihak lawan maupun dikuatkan dengan kesaksian, maka fotokopi surat tersebut sepenuhnya diserahkan kepada hakim yang memeriksa perkara.
SUMBER:
Subekti, Hukum Pembuktian, Cet. 17 (Jakarta: Pradnya Paramita, 2008)
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Edisi 7, (Yogyakarta: Liberty, 2006)
Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian dan Putusan Pengadilan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2004)
Djamanat Samosir, Hukum Acara Perdata: Tahap-Tahap Penyelesaian Perkara Perdata, cet.1, (Bandung: Nuansa Aulia, 2011)
Putusan Mahkamah Agung

Post a Comment